Tafsir Ulang Gerakan Filantropis dan Fundraising
Filantropi adalah cinta kasih terhadap sesama manusia. Karenanya, harus terus berbenah. Diawali dengan manajemen fundraising yang baik B…
Beberapa tahun belakangan, gerakan filantropis di Indonesia memperlihatkan fenomena yang cukup menggembirakan. Tiap kali fundraising untuk berbagai kebutuhan, baik bencana maupun lainnya selalu membuahkan hasil yang cukup signifikan.
Asal kata filantropi adalah philanthropy (english) yang berarti kedermawanan. Merujuk pada kata dasar berasal dari bahasa Yunani, philein artinya cinta dan anthropos artinya manusia (dalam id.wikipedia).
Pada dasarnya, filantropi berbeda dengan charity atau program amal, pemberian yang secara teologis lebih bermakna sedekah. Meskipun secara aksi adalah memberikan 'sesuatu' untuk membantu 'others' (orang lain), filantropi lebih dipahami dengan sebuah upaya untuk mengatasi masalah (solve the problem) dalam jangka panjang.
Keberadaan lembaga filantropi semacam ini tentunya sangat baik dalam kehidupan bernegara. Beban dan tanggung jawab mengentaskan kemiskinan serta pemberdayaan tidak semata-mata berada pada pundak pemerintah. Akan tetapi secara bersama-sama melahirkan rasa kepeduliaan antar warga negara.
Namun muncul pertanyaan, sejauh mana tingkat efektivitas keberadaan lembaga ini dalam hal upaya pengentasan kemiskinan memang perlu penelitian lebih lanjut. Mari kita intip sedikit data kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir. Maret tahun 2014, BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat angka kemiskinan berada pada 11,25% atau 28,28 juta jiwa. Dan data pada Maret 2018 berada pada angka 13,20% atau 15,81 juta jiwa.
Meskipun secara persentase ada peningkatan, akan tetapi berdasar data dirilis oleh BPS (dalam finance.detik) tersebut menunjukkan penurunan jumlah jiwa yang disebut sebagai miskin. BPS mengukur angka kemiskinan ini berdasar ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan. Bukan dari sisi pengeluaran.
Perbedaan metode penghitungan bisa saja memunculkan angka yang berbeda pula. Jika dilihat dari jumlah pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan, maka data angka kemiskinan yang dirilis oleh BPS tersebut bisa berbeda signifikan.
Apapun itu, pada intinya angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi. Hingga Maret 2018 saja masih diatas 15 juta jiwa. Update: Angka kemiskinan per-Maret 2020 mencapai 26,42 juta orang (Rilis BPS, 15/7/2020).
Melihat besarnya angka tersebut, gerakan filantropis harus melakukan "tafsir ulang" dari gerakan konvensional yang seperti selama ini dijalankan. Melalui sumberdaya yang relatif tetap, lembaga filantropi dalam hal ini adalah amil zakat harus bergerak lebih cerdas. Begitupula dengan program-program CSR (Corporate Social Responsibility), harus 'shifting' dari sekedar charity menjadi orientasi pemberdayaan.
Berdasarkan buku tua tersebut, ternyata banyak sekali upaya-upaya filantropis konvensional yang selama ini diterapkan oleh lembaga amal maupun program CSR (Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan) diyakini tidak mampu mengentaskan kemiskinan. Dan bahkan justru mengekalkan kemiskinan itu sendiri.
Memang benar, kondisi darurat seperti kelaparan, bencana, pandemi dan kondisi mendesak lainnya harus segera diberikan pertolongan secara layak sebagaimana mestinya. Makanan, pakaian dan tempat tinggal sementara hingga permanen.
Namun jangka panjang, setelah kondisi darurat terlewati, kemiskinan sejatinya tidak dapat dientaskan dengan sekedar gerakan amal konvensional seperti "memberi sesuatu kebutuhan hidup".
Menurut Wallace, kemiskinan dan keterbelakangan lebih membutuhkan inspirasi untuk dapat bangkit dan keluar dari kondisi tidak berdaya. Pemberian yang bersifat sementara justru mengekalkan kondisi ketidakberdayaan yang dimiliki oleh masyarakat miskin tersebut.
Kesejahteraan dapat dicapai dengan meningkatnya tingkat kapasitas berpikir. Bukan kapabilitas. Tanpa kapasitas, maka kapabilitas tidak akan berfungsi secara maksimal. Kapasitas dalam hal ini lebih pada kesempatan untuk bangkit dari keterpurukan.
Sederhananya adalah orang-orang dengan skill maupun pendidikan teretentu terpaksa tidak mendapatkan pekerjaan atau tidak mampu membuka peluang pekerjaan dikarenakan tidak memahami apa yang harus diperbuat.
Pernyataan tersebut sedikit ada benarnya ketika melihat data tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia per-Februari 2018 (dalam Ekbis.Sindonews) yang menyentuh angka 6,87 juta orang dengan rincian level SMK 8,92% dan Diploma 7,92%, sedangkan level SD hanya 2,67%.
Akhirnya pendapat lama yang seringkali terdengar, "berilah kail, jangan umpan," itupun kurang berlaku di era Revolusi 4.0 seperti saat ini. Karena orang-orang dengan kail (ijazah, pendidikan, dll.) tidak menjamin yang bersangkutan dapat terentaskan dari kemiskinan. Bukan kail yang dibutuhkan, namun kemampuan untuk memproduksi 'sesuatu' yang berfungsi sebagai kail.
Sehingga konsep filantropis harus lebih kuat lagi, dari sekedar memberi kail menjadi pemberian fundamen berpikir agar yang bersangkutan dapat membuat kail sendiri. Berinovasi dengan kemampuannya tersebut. Syukur jika mereka pun mampu mengajari orang lain atas kemampuan yang dimiliki.
Lalu gerakan ini akan mengalami percepatan dengan praktik fundraising secara tepat. Libatkan banyak orang. Sebanyak-banyaknya penggalangan bantuan (dana, tenaga, dll.) dengan tujuan filantropis berorientasi pemberdayaan yang mampu membangun kesadaran produktif berkarya.
Harapannya, kesejahteraan secara massal dalam lingkup kehidupan bernegara setidaknya mengalami percepatan. Semoga!
Artikel ini telah disunting dan pertama kali terbit di Majalah Istismar edisi 50/2019
Filantropi adalah ...
Wait, sebelum diskusi lebih jauh, mari kita pahami lebih dahulu pengertian filantropi. Dengan pemahaman secara utuh, maka implementasinya juga diharapkan lebih baik dan terarah. Menurut, KBBI V (Kamus Besar Bahasa Indonesia) daring, filantropi adalah nomina (kata benda) yang memiliki arti cinta kasih (kedermawanan dan sebagainya) kepada sesama.Asal kata filantropi adalah philanthropy (english) yang berarti kedermawanan. Merujuk pada kata dasar berasal dari bahasa Yunani, philein artinya cinta dan anthropos artinya manusia (dalam id.wikipedia).
Pada dasarnya, filantropi berbeda dengan charity atau program amal, pemberian yang secara teologis lebih bermakna sedekah. Meskipun secara aksi adalah memberikan 'sesuatu' untuk membantu 'others' (orang lain), filantropi lebih dipahami dengan sebuah upaya untuk mengatasi masalah (solve the problem) dalam jangka panjang.
Gerakan Filantropis
Jika filantropi adalah nomina, maka filantropis adalah kata sifat. Yakni, berbagai tindakan yang bersifat filantropi. Kebangkitan gerakan filantropis juga ditandai dengan lahirnya lembaga-lembaga amil zakat baru. Baik yang bernaung dibawah organisasi kemasyarakatan seperti Lazismu, yayansa seperti Dana Sosial Al-falah, Dompet Dhuafa, Yatim Mandiri, maupun lembaga yang didirikan oleh pemerintah seperti Baznas. Bahkan bermunculan startup sociopreneur yang cukup mendapat tempat di hati publik seperti KitaBisa.Keberadaan lembaga filantropi semacam ini tentunya sangat baik dalam kehidupan bernegara. Beban dan tanggung jawab mengentaskan kemiskinan serta pemberdayaan tidak semata-mata berada pada pundak pemerintah. Akan tetapi secara bersama-sama melahirkan rasa kepeduliaan antar warga negara.
Namun muncul pertanyaan, sejauh mana tingkat efektivitas keberadaan lembaga ini dalam hal upaya pengentasan kemiskinan memang perlu penelitian lebih lanjut. Mari kita intip sedikit data kemiskinan dalam beberapa tahun terakhir. Maret tahun 2014, BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat angka kemiskinan berada pada 11,25% atau 28,28 juta jiwa. Dan data pada Maret 2018 berada pada angka 13,20% atau 15,81 juta jiwa.
Meskipun secara persentase ada peningkatan, akan tetapi berdasar data dirilis oleh BPS (dalam finance.detik) tersebut menunjukkan penurunan jumlah jiwa yang disebut sebagai miskin. BPS mengukur angka kemiskinan ini berdasar ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan. Bukan dari sisi pengeluaran.
Perbedaan metode penghitungan bisa saja memunculkan angka yang berbeda pula. Jika dilihat dari jumlah pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan, maka data angka kemiskinan yang dirilis oleh BPS tersebut bisa berbeda signifikan.
Apapun itu, pada intinya angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi. Hingga Maret 2018 saja masih diatas 15 juta jiwa. Update: Angka kemiskinan per-Maret 2020 mencapai 26,42 juta orang (Rilis BPS, 15/7/2020).
Melihat besarnya angka tersebut, gerakan filantropis harus melakukan "tafsir ulang" dari gerakan konvensional yang seperti selama ini dijalankan. Melalui sumberdaya yang relatif tetap, lembaga filantropi dalam hal ini adalah amil zakat harus bergerak lebih cerdas. Begitupula dengan program-program CSR (Corporate Social Responsibility), harus 'shifting' dari sekedar charity menjadi orientasi pemberdayaan.
Apa yang dibutuhkan masyarakat miskin?
Pertanyaan ini sangat mengusik setelah penulis membaca buku berumur seabad karya Wallace D. Wattles. Buku yang diterbitkan di Amerika tahun 1910 tersebut memiliki judul asli, "The Science Of Getting Rich".Berdasarkan buku tua tersebut, ternyata banyak sekali upaya-upaya filantropis konvensional yang selama ini diterapkan oleh lembaga amal maupun program CSR (Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan) diyakini tidak mampu mengentaskan kemiskinan. Dan bahkan justru mengekalkan kemiskinan itu sendiri.
Memang benar, kondisi darurat seperti kelaparan, bencana, pandemi dan kondisi mendesak lainnya harus segera diberikan pertolongan secara layak sebagaimana mestinya. Makanan, pakaian dan tempat tinggal sementara hingga permanen.
Namun jangka panjang, setelah kondisi darurat terlewati, kemiskinan sejatinya tidak dapat dientaskan dengan sekedar gerakan amal konvensional seperti "memberi sesuatu kebutuhan hidup".
Menurut Wallace, kemiskinan dan keterbelakangan lebih membutuhkan inspirasi untuk dapat bangkit dan keluar dari kondisi tidak berdaya. Pemberian yang bersifat sementara justru mengekalkan kondisi ketidakberdayaan yang dimiliki oleh masyarakat miskin tersebut.
Kesejahteraan dapat dicapai dengan meningkatnya tingkat kapasitas berpikir. Bukan kapabilitas. Tanpa kapasitas, maka kapabilitas tidak akan berfungsi secara maksimal. Kapasitas dalam hal ini lebih pada kesempatan untuk bangkit dari keterpurukan.
Sederhananya adalah orang-orang dengan skill maupun pendidikan teretentu terpaksa tidak mendapatkan pekerjaan atau tidak mampu membuka peluang pekerjaan dikarenakan tidak memahami apa yang harus diperbuat.
Pernyataan tersebut sedikit ada benarnya ketika melihat data tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia per-Februari 2018 (dalam Ekbis.Sindonews) yang menyentuh angka 6,87 juta orang dengan rincian level SMK 8,92% dan Diploma 7,92%, sedangkan level SD hanya 2,67%.
Akhirnya pendapat lama yang seringkali terdengar, "berilah kail, jangan umpan," itupun kurang berlaku di era Revolusi 4.0 seperti saat ini. Karena orang-orang dengan kail (ijazah, pendidikan, dll.) tidak menjamin yang bersangkutan dapat terentaskan dari kemiskinan. Bukan kail yang dibutuhkan, namun kemampuan untuk memproduksi 'sesuatu' yang berfungsi sebagai kail.
Sehingga konsep filantropis harus lebih kuat lagi, dari sekedar memberi kail menjadi pemberian fundamen berpikir agar yang bersangkutan dapat membuat kail sendiri. Berinovasi dengan kemampuannya tersebut. Syukur jika mereka pun mampu mengajari orang lain atas kemampuan yang dimiliki.
Lalu gerakan ini akan mengalami percepatan dengan praktik fundraising secara tepat. Libatkan banyak orang. Sebanyak-banyaknya penggalangan bantuan (dana, tenaga, dll.) dengan tujuan filantropis berorientasi pemberdayaan yang mampu membangun kesadaran produktif berkarya.
Harapannya, kesejahteraan secara massal dalam lingkup kehidupan bernegara setidaknya mengalami percepatan. Semoga!
Artikel ini telah disunting dan pertama kali terbit di Majalah Istismar edisi 50/2019