Budaya Baca dan Kemakmuran Ekonomi
Budaya baca - Rajin membaca dapat meningkatkan harkat martabat seseorang dari berbagai aspek. ilustrasi: huffington post IRONIS. Ren…
IRONIS. Rendahnya budaya baca masyarakat mengharuskan bangsa ini rela mendapati kemakmuran ekonominya tertunda hingga waktu yang tak dapat ditentukan. Sebagai bangsa yang besar dengan segala potensinya, maritim, pertanian, pertambangan, wisata dan sebagainya.
Ternyata minat dan kemampuan baca masyarakat Indonesia sangat memperihatinkan. Dapat dilihat dari hasil survei UNESCO tentang minat dan kemampuan baca masyarakatnya, Indonesia masih menempati peringkat ke-38 di dunia (Jawa Pos, 15 Desember 2009).
Kampanye tentang budaya baca tidak kurangnya dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri yang peduli terhadap kecerdasan setiap anak bangsa. Melalui poster, iklan layanan di media cetak maupun elektronik pernah pula dilakukan oleh pihak-pihak tersebut. Bahkan, melalui perpustakaan-perpustakaan umum di daerah pun pemerintah 'jemput bola' pembaca dengan adanya program buslim atau bus keliling sebagai perpustakaan berjalan.
Namun, secara keseluruhan usaha-usaha tersebut masih jauh dari kata berhasil. Dari data UNESCO itu pun sebetulnya telah mengingatkan kita semua bahwa 'asupan gizi' untuk otak masyarakat Indonesia sangatlah rendah. Bayangkan, berada pada peringkat nomor dua dari bawah.
Membudayakan Membaca
Langkah-langkah konkrit yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri kini layak untuk dievaluasi secara menyeluruh. Pertama, mengapa program-program yang tidak sedikit tentunya dalam menelan anggaran belanja negara tersebut seakan kurang maksimal. Kedua, dari sisi masyarakatnya pula mengapa tidak muncul 'nafsu' untuk membaca hingga mereka merasa betul-betul butuh untuk membaca.
Program pemerintah. Telah seringkali kita mengetahui berbagai kegagalan program-program yang direncanakan oleh pemerintah. Program oleh, dari dan untuk pemerintah sendiri sebagai institusi kenegaraan maupun program-program oleh dan dari pemerintah untuk masyarakat.
Kegagalan ini menurut penulis dikarenakan jamak diketahui jika pemerintah kita terbiasa memiliki program-program parsial. Program-program yang terpisah antara kementerian satu sama lain, depertemen satu dengan yang lain. Keterpisahan program itulah yang snagat memungkinkan program tertentu tidak berjalan secara maksimal. Atau pula terdapat tumpang tindih program yang sama akan tetapi sama-sama tidak berjalan efektif dan efisien.
Begitulah adanya tentang kampanye budaya membaca ini. Membudayakan membaca hingga saat ini masih belum dijadikan sebagai kampanye dalam wujud gerakan nasional yang menyeluruh. Dengan melibatkan segala unsur pemerintahan dan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menggugah kesadaran. Untuk masyarakat secara luas dengan berbagai struktur lapisan yang ada kita perlu menggugah kesadarannya. Pemerintah dan masyarakat sejatinya terus beriringan untuk memberikan edukasi bahwa membaca bukan hanya perilaku untuk siswa. Akan tetapi membaca adalah bagian daripada hidup kita.
Sering kita menjumpai dalam masyarakat ketika orang tua dari siswa menyuruh anaknya untuk membaca, belajar dan belajar. Padahal, kita tahu jika berbicara budaya, kebiasaan maupun pembiasaan hal itu berhubungan dengan keteladanan atau contoh perilaku.
Peran keluarga dalam menginternalisasikan budaya membaca sangat dominan. Pendidikan yang diberikan di sekolah tidak cukup membangun kebiasaan siswa dalam hal membaca.
Pelajaran di sekolah hanya memungkinkan siswa didik tenggelam pada kesibukan rutinitas bahan bacaan seputar kurikulum yang diajarkan. Siswa didik kurang berkesempatan mendapatkan bacaan umum untuk memperluas cakrawala pengetahuannya jika buku-buku yang dibacanya hanya sebatas buku ajar.
Untuk mensukseskan budaya baca dalam keluarga tersebut perlu terdapat program-program stimulus. Di tingkatan masyarakat paling bawah, di desa-desa, pemerintah dapat merangsang bahan bacaan yang terkait dengan profesi masyarakat. Buruh, tani, nelayan dan sebagainya yang memiliki orientasi dalam hal peningkatan kualitas profesinya.
Selain itu, pemerintah juga berkewajiban membendung realitas sosial atas fenomena audio visual. Dierasakan perlu adanya pembatasan atas tayangan-tayangan yang meninabobokan masyarakat melalui kemakmuran secara ekonomi, sosial dan politik sebatas mimpi-mimpi yang tidak dapat direalisasikan.
Kemakmuran Ekonomi
Kampanye dan gerakan nasional tersebut akan menjadi isuyang menarik bagi masyarakat kelas bawah sekalipun jika ditujukan pada satu titik, kemakmuran ekonomi. Kesadaran masyarakat harus diarahkan bahwa budaya membaca akan membawa bangsa ini kepada kemandirian, harkat martabat serta harga diri. Masyarakat harus diyakinkan betul jika gerakan budaya membaca ini tidak sekedar program retoris dari pemerintah, program-program formalitas belaka.
Sebagaimana disampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer (dalam Jejak Langkah; 2006) bahwa, "Setiap ketidaktahuan menghambat kemakmuran, baik Eropa, Amerika, Hindia, atau di mana saja." Dengan logika tersebut, untuk mencapai kemakmuran maka masyarakat harus terbebas dari ketidaktahuan. Bagaimana ketidaktahuan tersebut dapat teratasi?, dengan budaya membaca.
Budaya membaca dirasa sebagai satu-satunya usaha yang mampu mengatasi bangsa ini dari berbagai keterpurukan terlebih permasalahan ekonomi, tingkat pendapatan masyarakat rendah, daya beli terus menurun, berkurangnya jumlah lapangan pekerjaan.
Hingga akhir tahun 2009 ini saja pengangguran di Indonesia mencapai 9,26 juta (Menakertrans dalam Jawa Pos edisi Minggu, 29 November 2009). Jumlah sebesar itu tak kan mampu diatasi jika hanya menunggu belas kasihan dari pemerintah. Atau pula terus menanti adanya investasi dari asing (PMA).
Budaya membaca akan menumbuhkan enterpreneur-enterpreneur baru yang handal di bidangnya. Minimal untuk mempertahankan hidup secara pribadi pun masyarakat sudah mampu. Jika masyarakat mau dan mampu membaca maka tak perlu menjadi karyawan atau pegawai untuk dapat hidup layak berkecukupan. Peluang-peluang di bidang pertanian, peternakan, wisata dan sebagainya banyak sekali tersedia disekitar bahkan dengan modal kecil sekalipun hal itu jika masyarakat mampu mengambil inspirasi dengan banyak membaca.
Akhirnya kita sadari, jika ternyata budaya membaca memiliki berbagai dimensi positif bagi kehidupan kita. Keuntungan ekonomi, sosial dan politik secara pribadi. Dan tentunya pula secara komunal, kita akan menjadi bangsa yang bermartabat dalam pergaulan internasional. ●
Dipublikasikan pertama kali dalam rubrik Colosseum
Harian Jawa Pos Radar Probolinggo
Minggu, 17 Oktober 2010
Ternyata minat dan kemampuan baca masyarakat Indonesia sangat memperihatinkan. Dapat dilihat dari hasil survei UNESCO tentang minat dan kemampuan baca masyarakatnya, Indonesia masih menempati peringkat ke-38 di dunia (Jawa Pos, 15 Desember 2009).
Kampanye tentang budaya baca tidak kurangnya dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri yang peduli terhadap kecerdasan setiap anak bangsa. Melalui poster, iklan layanan di media cetak maupun elektronik pernah pula dilakukan oleh pihak-pihak tersebut. Bahkan, melalui perpustakaan-perpustakaan umum di daerah pun pemerintah 'jemput bola' pembaca dengan adanya program buslim atau bus keliling sebagai perpustakaan berjalan.
Namun, secara keseluruhan usaha-usaha tersebut masih jauh dari kata berhasil. Dari data UNESCO itu pun sebetulnya telah mengingatkan kita semua bahwa 'asupan gizi' untuk otak masyarakat Indonesia sangatlah rendah. Bayangkan, berada pada peringkat nomor dua dari bawah.
Membudayakan Membaca
Langkah-langkah konkrit yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri kini layak untuk dievaluasi secara menyeluruh. Pertama, mengapa program-program yang tidak sedikit tentunya dalam menelan anggaran belanja negara tersebut seakan kurang maksimal. Kedua, dari sisi masyarakatnya pula mengapa tidak muncul 'nafsu' untuk membaca hingga mereka merasa betul-betul butuh untuk membaca.
Program pemerintah. Telah seringkali kita mengetahui berbagai kegagalan program-program yang direncanakan oleh pemerintah. Program oleh, dari dan untuk pemerintah sendiri sebagai institusi kenegaraan maupun program-program oleh dan dari pemerintah untuk masyarakat.
Kegagalan ini menurut penulis dikarenakan jamak diketahui jika pemerintah kita terbiasa memiliki program-program parsial. Program-program yang terpisah antara kementerian satu sama lain, depertemen satu dengan yang lain. Keterpisahan program itulah yang snagat memungkinkan program tertentu tidak berjalan secara maksimal. Atau pula terdapat tumpang tindih program yang sama akan tetapi sama-sama tidak berjalan efektif dan efisien.
Begitulah adanya tentang kampanye budaya membaca ini. Membudayakan membaca hingga saat ini masih belum dijadikan sebagai kampanye dalam wujud gerakan nasional yang menyeluruh. Dengan melibatkan segala unsur pemerintahan dan aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menggugah kesadaran. Untuk masyarakat secara luas dengan berbagai struktur lapisan yang ada kita perlu menggugah kesadarannya. Pemerintah dan masyarakat sejatinya terus beriringan untuk memberikan edukasi bahwa membaca bukan hanya perilaku untuk siswa. Akan tetapi membaca adalah bagian daripada hidup kita.
Sering kita menjumpai dalam masyarakat ketika orang tua dari siswa menyuruh anaknya untuk membaca, belajar dan belajar. Padahal, kita tahu jika berbicara budaya, kebiasaan maupun pembiasaan hal itu berhubungan dengan keteladanan atau contoh perilaku.
Peran keluarga dalam menginternalisasikan budaya membaca sangat dominan. Pendidikan yang diberikan di sekolah tidak cukup membangun kebiasaan siswa dalam hal membaca.
Pelajaran di sekolah hanya memungkinkan siswa didik tenggelam pada kesibukan rutinitas bahan bacaan seputar kurikulum yang diajarkan. Siswa didik kurang berkesempatan mendapatkan bacaan umum untuk memperluas cakrawala pengetahuannya jika buku-buku yang dibacanya hanya sebatas buku ajar.
Untuk mensukseskan budaya baca dalam keluarga tersebut perlu terdapat program-program stimulus. Di tingkatan masyarakat paling bawah, di desa-desa, pemerintah dapat merangsang bahan bacaan yang terkait dengan profesi masyarakat. Buruh, tani, nelayan dan sebagainya yang memiliki orientasi dalam hal peningkatan kualitas profesinya.
Selain itu, pemerintah juga berkewajiban membendung realitas sosial atas fenomena audio visual. Dierasakan perlu adanya pembatasan atas tayangan-tayangan yang meninabobokan masyarakat melalui kemakmuran secara ekonomi, sosial dan politik sebatas mimpi-mimpi yang tidak dapat direalisasikan.
Kemakmuran Ekonomi
Kampanye dan gerakan nasional tersebut akan menjadi isuyang menarik bagi masyarakat kelas bawah sekalipun jika ditujukan pada satu titik, kemakmuran ekonomi. Kesadaran masyarakat harus diarahkan bahwa budaya membaca akan membawa bangsa ini kepada kemandirian, harkat martabat serta harga diri. Masyarakat harus diyakinkan betul jika gerakan budaya membaca ini tidak sekedar program retoris dari pemerintah, program-program formalitas belaka.
Sebagaimana disampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer (dalam Jejak Langkah; 2006) bahwa, "Setiap ketidaktahuan menghambat kemakmuran, baik Eropa, Amerika, Hindia, atau di mana saja." Dengan logika tersebut, untuk mencapai kemakmuran maka masyarakat harus terbebas dari ketidaktahuan. Bagaimana ketidaktahuan tersebut dapat teratasi?, dengan budaya membaca.
Budaya membaca dirasa sebagai satu-satunya usaha yang mampu mengatasi bangsa ini dari berbagai keterpurukan terlebih permasalahan ekonomi, tingkat pendapatan masyarakat rendah, daya beli terus menurun, berkurangnya jumlah lapangan pekerjaan.
Hingga akhir tahun 2009 ini saja pengangguran di Indonesia mencapai 9,26 juta (Menakertrans dalam Jawa Pos edisi Minggu, 29 November 2009). Jumlah sebesar itu tak kan mampu diatasi jika hanya menunggu belas kasihan dari pemerintah. Atau pula terus menanti adanya investasi dari asing (PMA).
Budaya membaca akan menumbuhkan enterpreneur-enterpreneur baru yang handal di bidangnya. Minimal untuk mempertahankan hidup secara pribadi pun masyarakat sudah mampu. Jika masyarakat mau dan mampu membaca maka tak perlu menjadi karyawan atau pegawai untuk dapat hidup layak berkecukupan. Peluang-peluang di bidang pertanian, peternakan, wisata dan sebagainya banyak sekali tersedia disekitar bahkan dengan modal kecil sekalipun hal itu jika masyarakat mampu mengambil inspirasi dengan banyak membaca.
Akhirnya kita sadari, jika ternyata budaya membaca memiliki berbagai dimensi positif bagi kehidupan kita. Keuntungan ekonomi, sosial dan politik secara pribadi. Dan tentunya pula secara komunal, kita akan menjadi bangsa yang bermartabat dalam pergaulan internasional. ●
Dipublikasikan pertama kali dalam rubrik Colosseum
Harian Jawa Pos Radar Probolinggo
Minggu, 17 Oktober 2010